Kisah Cinta Urban di film Love for Sale







Pada bulan Maret 2018 dunia perfilman Indonesia dihebohkan dengan tayangan film baru tentang romansa yang menawarkan cerita yang menarik dan segar. Judulnya Love For Sale yang distudarai oleh  Andibachtiar Yusuf.  Film ini menceritakan tentang tokoh utamanya yang bernama Richard udah terlalu lama hidup sendiri. Richard telanjur nyaman menjalani hidupnya yang datar dan tanpa tantangan. Tetapi semua itu berubah ketika ia menemukan Arini melalui aplikasi Love, Inc. Pertemuannya dengan Arini seketika mengguncang dunia Richard. Kisah cinta ini bukan merupakan kisah cintang yang biasa, melainkan sebuah kisah pendewasaan diri seorang manusia urban yang unik.

Love For Sale menyorot tentang realitas kehidupan urban yang entah bagaimana terasa sangat dekat dan familiar. Kisah cintanya dimulai dengan tokoh Richard adalah lelaki di usia 30an akhir mendapati dirinya sendiran, sibuk dengan pekerjaan dan enggan untuk melakukan hal-hal baru. Richard kalah taruhan lalu mengharusnya ia untuk mencari pacar untuk menemaninya ke pernikahan teman secepatnya. Pada akhirnya Richard menggunakan jasa dari Love, Inc. yaitu sebuah perusahaan online yang menyediakan jasa untuk “menyewa” seseorang untuk keperluan romantis. Meskipun awalnya saya sudah tau kalau semuanya adalah pura-pura karena memang itu adalah jasa yang ditawarkan, pada akhirnya saya suka juga jalan ceritanya.

Selama nonton ini, saya teringat dengan film dari Hollywood berjudul HER. HER juga banyak bercerita tentang kesendirian dan bagaimana ketika seseorang sudah tersentuh perasaannya, semuanya bisa berubah. Tetapi saya tidak akan terlalu membahas persamaan dan perbedaan film Love For Sale dan HER karena pastinya kedia film itu memiliki karakteristik yang bebeda. Meskipun keduanya sama-sama menyoroti kehidupan percintaan yang sekarang ini erat hubungannya dengan dunia maya. Love For Sale menawarkan cerita percintaan yang berbeda dari film romantis Indonesia terdahulu. Ceritanya sangat naif namun rumit. Love For Sale memberikan sentuhan komedi dan drama yang pas, jagadnya juga terasa dekat bagi masyarakat urban kota besar khususnya Jakarta. Durasi hampir dua jam terasa singkat, menyaksikan akting kelas dari Gading Marten dan debut Della Dartyan. Pemeran pendukung pun memberikan performa yang baik, utamanya pemeran Panji dan Pak Samsul. Meski ada beberapa plot hole yang menyisakan tanda tanya, pemilihan ending yang tak biasa justru membuat film ini semakin menarik.

Sebagai orang yang sejak awal sudah kira-kira ini bakal akan seperti apa akhirnya, saya tidak bisa benar-benar menikmati kisah "cinta" mereka. Selalu terbayang bahwa semua ini adalah ilusi belaka. Tidak ada yang nyata. Mungkin juga Richard saja yang terbawa suasana. Tapi saya pada akhirnya menyadari bahwa mungkin seharusnya saya tidak terlalu fokus dengan kemungkinan akhir ceritanya dan lebih menikmati jalan ceritanya.

Selain ceritanya, sinematografinya juga indah. Permainan warna di tiap adegannya membangun suasana yang mendukung mood penoton. Terlebih warna neon pink dan ungu yang menjadi warna utama saat malam dan bahkan mejadi poster film Love For Sale.  

Di sepanjang film, saya dapat melihat perkembangan tokoh Richard dari yang awalnya tidak suka mencoba hal baru, cepat marah hingga akhirnya bertemu Arini dan sikapnya berubah. Love For Sale seakan memberikan kita contoh bahwa masih ada waktu untuk berubah dan “mencari jati diri” meski sudah berumur.

Pada akhirnya, film ini adalah sebuah kontemplasi yang diwakilkan oleh Richard, yang belajar dari kura-kura peliharaannya: bahwa dunia tidak sesempit tempurung saja, ada banyak hal di luar sana yang perlu dijelajahi sembari mencari jati diri.


Komentar

Postingan Populer