Kapai Kapai: Refleksi Diri Terhadap Kesengsaraan Hidup



“Salah satu kesalahan terbesar dia di dunia ini adalah ketika ia dilahirkan ke dunia ini. Bahkan ketika itu bukan pilihannya”

Malam hari memang paling enak untuk memikirkan segala permasalah hidup. Baik yang sudah ada ataupun yang belum ada tapi diada-adakan. Untuk membunuh waktu di malam minggu, saya putuskan untuk menonton pertunjukan teater. Kebetulan pada tanggal 25 Agustus 2018 ada pertunjukan teater di Gedung Kesenian Cak Durasim. Judulnya teaternya Kapai Kapai. Dilihat dari sinopsisnya teater ini terdengar sangat suram dan penuh penyesalan tentang kehidupan. Yang pada akhirnya cukup menarik juga untuk saya tonton.

Pertunjukan dimulai dengan seorang tokoh bernama Abu, hidupnya sengsara, budak yang selalu berbuat salah. Ketika ia sedang bersedih, datanglah Emak yang mendongengkan ia sebuah cerita yang bahagia. Tokoh Emak seperti hanya ilusi dan tidak nyata secara fisik. Dongengnya menceritakan tentang seorang raja yang akhirnya menikahi putri cantik dan hidup bahagia selama-lamanya. Meskipun Abu sempat sedikit berbahagia karena mendapatkan harapan baru untuk hidup bahagia, realita Abu yang hanya seorang babu dari majikan yang kejam memupus semua harapannya.

Membicarakan mengenai kesengsaraan dan kehidupan memang erat kaitannya satu sama lain. Pemikiran bahwa yang hidup adalah nyawa yang sengsara karena harus hidup ketidak dai tidak memilih untuk hidup adalah pemikiran yang distopis. Namun, berapa banyak dari dari kita yang memiliki pemikiran serupa? Bukan karena tidak bersyukur dengan kehidupan yang dimiliki, namun perasaan sedih atau merasa sengsara menjadi hal yang wajar untuk dirasakan.






















Pertunjukan Kapai Kapai tidak hanya menceritakan kesedihan Abu yang meratapi nasibnya, namun  juga mampu menggambarkan berbagai aspek dalam hidup secara simblolis sekaligus dramatis. Dalam pertunjukan ini juga banyak menyinggung tentang aspek yang sering dimaknai sebagai dasar kehidupan. Ada kesedihan, kesenangan, cinta, persepsi tentang alam setelah kehidupan, agama, tuhan dan lain sebagainya. Pengambaran yang dipaparkan sering terasa sedikit absurd karena banyak adegan-adegan yang sulit dimengerti secara literal. Meskipun begitu, seni teater memang tidak selalu berkutat pada sesuatu yang masuk akal dan literal. Dengan ini pula maka akan menimbulkan persepsi yang berbeda-beda bagi tiap penontonnya, terantung dari pengalaman dan cara menyikapi apa yang mereka lihat.

Abu terjebak di dalam kesengsaraan dan ketegangan dengan sesekali dibumbui angan-angan akan kehidupan yang sempurna seperti dongen Emak. Saat menonton ini saya seperti bisa merasakan kegelisahaan Abu. Seolah kita semua pernah menjadi Abu. Terpuruk dalam kegelisahan dan kesedihan.

Pertunjukan ini begitu kaya akan emosi. Tata panggung yang sederhana namun memukau, musik pengiring yang membuat suasana makin kuat dan kostum pemain yang makin memperkuat kerakter mereka. Selama pertunjukan, saya terus disuguhi dialog-dialog yang kuat sekaligus terasa lembut dan romantis, seakan-akan kehidupan ini menjadi tidak monoton.
Pada akhirnyapun Abu tetap terkubur dengan semua kegelapan dalam hidupnya, mati kerkubur karena usia dan kesedihannya.

Salah satu dialog di dalam Kapa Kapa adalah “Salah satu kesalahan terbesar dia di dunia ini adalah ketika ia dilahirkan ke dunia ini. Bahkan ketika itu bukan pilihannya.” Membuat saya terpaku untuk beberapa waktu. Benar-benar sebuah sudut pandang yang sangat pesimis tentang kehidupan. Saya benci untuk berpikir seperti itu, tapi ada benarnya juga. Setelah menonton Kapai Kapai penonton mungkin tidak hanya terhibur dengan pertunjukan yang diproduksi dengan baik dari segi cerita, dialog, musik, hingga pemainnya tapi juga membawa sesuatu untuk dibawa pulang. Membawa pertanyaan yang mungkin masih sama seperti hari-hari kemarin. Untuk apa kita hidup di dunia ini?




Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer